Jumat, 13 Januari 2012

Disiplin Siswa di Sekolah

Disiplin Siswa di SekolahDalam kehidupan sering kita dengar orang mengatakan bahwa si X adalah orang yang memiliki disiplin yang tinggi, sedangkan si Y orang yang kurang disiplin. Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).
Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolahrefers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya “Dangerous School” (1999).
Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya. Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001) menyebutkan bahwa “the goals of discipline, once the need for it is determined, should be to help students accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
Keith Devis mengatakan, “Discipline is management action to enforce organization standarts” dan oleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan siswa mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada.
Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah.
Perilaku siswa terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan, keluarga dan sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah meru

Tahapan Perkembangan Perilaku Konatif-Freud

perilaku konatifPerilaku konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor penggerak perilaku seseorang yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhannya. Freud (Di Vesta & Thompson dalam Abin Syamsuddin,2003) mengemukakan tentang tahapan-tahapan perkembangan perilaku yang berhubungan obyek pemuasan psychosexual, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini :
Daerah Sensitif Cara Pemuasan Sasaran Pemuasan
A. MASA BAYI DAN KANAK-KANAK (INFANCY PERIOD)
Pre Genital Period Infantile Sexuality
Oral Stage
Mulut dan benda
Early Oral Menghisap ibu jari Mulut sendiri, memilih dan memasukkanbenda kemulut
Memilih benda dan digigitnya secara sadis
Late Oral Menggigit, merusak dengan mulut
Anal Stage
Dubur dan benda
Early Anal Memeriksa dan memainkan duburnya Memilih benda dan menyentuhnya/memasukkan ke dubur
Late Anal Memainkan dan memperhatikan duburnya
Early GenitalPeriod (phalic stage) Menyentuh, memegang, melihat, menunjukkan alat kelaminnya Ditujukan kepada orang tuanya (oediphus atau electra phantaties)
B. MASA ANAK SEKOLAH (LATENCY PERIOD)
No New Zone
(tidak ada daerah sensitif baru)
Represi
Reaksi formasi
Sublimasi dan kecen- derungan kasih sayang
Berkembangnya perasaan–perasaan sosial
C. MASA REMAJA (ADOLESENCE PERIOD)
Late Genital Period

Hidup kembali daerah sensitif waktu masa kanak-kanak Mengurangi cara-cara waktu masa kanak-kanak Menyenangi diri sendiri (narcisism) atau objek oediphus-nya
Objek pemuasannya mungkin diri sendiri/sejenis (homosexual) atau lain jenis(heterosexual)
Akhirnya,siap berfungsinya alat kelamin Munculnya cara orang dewasa memperoleh pemuasan

Konsep Dasar Perkembangan Individu

1. Apa perkembangan individu itu?
konsep perkembangan individuPerkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan – perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
2. Apa yang dimaksud dengan sistematis ?
Sistematis adalah bahwa perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan dalam perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang akan seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang remaja terhadap jenis kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ seksualnya.
3. Apa yang dimaksud dengan progresif ?
Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh : perubahan proporsi dan ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); perubahan pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai kepada yang kompleks (mulai dari mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca buku).
4. Apa yang dimaksud dengan berkesinambungan ?
Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh : untuk dapat berdiri, seorang anak terlebih dahulu harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
5. Apa ciri-ciri perkembangan individu?
Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
1. Terjadinya perubahan dalam aspek :
  • Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
  • Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
  • Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya.
  • Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
  • Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar pineal.
  • Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
4. Diperolehnya tanda-tanda baru.
  • Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita, tumbuh uban pada masa tua.
  • Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.
6. Apa prinsip-prinsip perkembangan inidividu?
Prinip- prinsip perkembangan individu, yaitu :
  1. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti.
  2. Semua aspek perkembangan saling berhubungan.
  3. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
  4. Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.
  5. Setiap individu normal akan mengalami tahapan perkembangan.
  6. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
  7. Bagaimana pola atau arah perkembangan inidividu?
Arah atau pola perkembangan sebagai berikut :
  1. Cephalocaudal & proximal-distal (perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki dan dari tengah (jantung, paru dan sebagainya) ke samping (tangan).
  2. Struktur mendahului fungsi.
  3. Diferensiasi ke integrasi.
  4. Dari konkret ke abstrak.
  5. Dari egosentris ke perspektivisme.
  6. Dari outer control ke inner control.
8. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan individu?
Dalam berbagai literatur kita dapati berbagai pendekatan dalam menentukan tahapan perkembangan individu, diantaranya adalah pendekatan didaktis. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf (2003) mengemukakan tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut :
Masa Usia Pra Sekolah
Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu (1) Masa Vital dan (2) Masa Estetik
  1. Masa Vital; pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar pada tahun pertama dalam kehidupan individu , Freud menyebutnya sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar.Pada tahun kedua anak belajar berjalan sehingga anak belajar menguasai ruang, mulai dari yang paling dekat sampai dengan ruang yang jauh. Pada tahun kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan. Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya.
  2. Masa Estetik; dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Anak bereksplorasi dan belajar melalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.
Masa Usia Sekolah Dasar
Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :
  1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.
  2. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.
  3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.
  4. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.
  5. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.
  6. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :
  1. Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.
  2. Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.
  3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.
  4. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.
  5. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.
  6. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.
Masa Usia Sekolah Menengah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke dalam 3 bagian yaitu :
  1. masa remaja awal; biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan mental, prestasi, serta sikap sosial,
  2. masa remaja madya; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.
  3. masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.
Masa Usia Kemahasiswaan (18,00-25,00 tahun)
Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup.
9. Apa tugas perkembangan individu itu?
Havighurst (1961) mengemukakan bahwa : “ A developmental task is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, succesful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disaproval by society, difficulty with later task.
10. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak-kanak awal (0,0–6.0) ?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak – kanak awal (0,0–6.0) adalah :
  1. Belajar berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.
  2. Belajar memakan makan padat.
  3. Belajar berbicara.
  4. Belajar buang air kecil dan buang air besar.
  5. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.
  6. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis.
  7. Membentuk konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.
  8. Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.
  9. Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.
11. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah (6,0-12.0)?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa kanak – kanak akhir dan anak sekolah (0,0–6.0) adalah :
  1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.
  2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.
  3. Belajar bergaul dengan teman sebaya.
  4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
  5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.
  6. Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.
  7. Mengembangkan kata hati.
  8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.
  9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.
12. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa remaja (12,0-21.0)?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja (21,0–21.0) adalah :
  1. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.
  2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.
  3. Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif.
  4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
  5. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.
  6. Memilih dan mempersiapkan karier.
  7. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
  8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.
  9. Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.
  10. Memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.
13. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada Masa Dewasa Awal (21 – dst) ?
Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa dewasa awal (21,0–dst) adalah :
  1. Memilih pasangan.
  2. Belajar hidup dengan pasangan.
  3. Memulai hidup dengan pasangan.
  4. Memelihara anak.
  5. Mengelola rumah tangga.
  6. Memulai bekerja.
  7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara.
  8. Menemukan suatu kelompok yang serasi.

Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan

Kontribusi PsikologTidak bisa dipungkiri lagi bahwa sudah sejak lama bidang psikologi pendidikan telah digunakan sebagai landasan dalam pengembangan teori dan praktek pendidikan dan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pendidikan, diantaranya terhadap pengembangan kurikulum, sistem pembelajaran dan sistem penilaian.
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristik individu lainnya.
Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa
2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
  1. Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
  2. Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
  3. Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
  4. Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
  5. Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
  6. Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
  7. Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
  8. Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
  9. Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
  10. Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
  11. Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
  12. Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
  13. Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Teori Belajar Konstruktivisme

Oleh: Hamzah*)
A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
 Teori Belajar KONSTRUKTIVISMESalah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Sekilas tentang Behaviorisme

Skinner BehaviorismeBehaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkaji perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Oleh karena itu, penganut aliran behaviorisme menolak keras adanya aspek-aspek kesadaran atau mentalitas dalam individu. Pandangan ini sebetulnya sudah berlangsung lama sejak jaman Yunani Kuno, ketika psikologi masih dianggap bagian dari kajian filsafat. Namun kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B. Watson pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh sebab itu psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observasi, conditioning, testing, dan verbal reports.
Teori utama dari Watson yaitu konsep stimulus dan respons (S-R) dalam psikologi. Stimulus adalah segala sesuatu obyek yang bersumber dari lingkungan. Sedangkan respon adalah segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku dan perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Pemikiran Watson menjadi dasar bagi para penganut behaviorisme berikutnya.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorisme terutama banyak dihasilkan melalui berbagai eksperimen terhadap binatang. Berikut ini disajikan beberapa teori penting yang dihasilkan oleh kelompok behaviorisme:
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
  • Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
  • Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
  • Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  • Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
  • Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
  • Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
  • Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Cara Validasi Data Yang di Input Pada Lembar Kerja Exel 2007

Kadang mungkin kita ingin membuat aturan pada data yang diketikkan pada lembar kerja. Misalnya, pada range tertentu hanya boleh diisi dengan angka saja, kemudian untuk sel yang lain hanya boleh diisi dengan teks saja. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan fitur validasi data (Data Validation) di Excel 2007.
Validasi data membantu mengurangi kesalahan saat input data pada lembar kerja. Fitur ini sangat bermanfaat terutama bila file Excel dikerjakan oleh lebih dari satu orang.
Misalnya: Pada range tertentu (B1:F1) hanya boleh diisi dengan angka 100 – 9999 saja.

Bila diisi dengan data lain akan diberikan peringatan seperti contoh berikut.

Cara membuatnya cukup mudah. Berikut akan disajikan cara validasi input untuk angka, teks, dan tanggal.
Cara Validasi Input untuk Angka
Pilih kumpulan sel (range).
Pada Data tab, Data Tools group, klik Data Validation, dan pilih Data Validation.

Pada Setting tab, di bagian Allow, pilih Whole number.
Di bagian Data, pilih between.
Di kotak Minimum, isi angka terendah, misalnya 100.
Di kotak Maximum, isi angka tertinggi, misalnya 9999.
Untuk menambahkan input message lihat di sini atau klik OK untuk menutup kotak dialog.

Cara Validasi Input untuk Teks
Pilih kumpulan sel (range).
Pada Data tab, Data Tools group, klik Data Validation, dan pilih Data Validation.
Pada Setting tab, di bagian Allow, pilih Custom.
Di kotak Formula, isi dengan formula: =IsText (B2), sel B2 merupakan sel pertama pada range.
Untuk menambahkan input message lihat di sini atau klik OK untuk menutup kotak dialog.

Cara Validasi Input untuk Tanggal
Pilih kumpulan sel (range).
Pada Data tab, Data Tools group, klik Data Validation, dan pilih Data Validation.
Pada Setting tab, di bagian Allow, pilih Date.
Di bagian Data, pilih between.
Di kotak Start date, isi dengan tanggal awal, misalnya 3/1/2010.
Di kotak End date, isi dengan tanggal akhir, misalnya 3/31/2010.
Untuk menambahkan input message lihat di sini atau klik OK untuk menutup kotak dialog.

Tip: Untuk mempermudah pengisian data, kita dapat menambahkan input message, sehingga saat sel tersebut diklik akan muncul keterangan (lihat gambar berikut) tentang data yang boleh diinput.

Cara Membuat Input Message:
Saat membuat validasi di kotak dialog Data Validation, klik Input Message tab.
Di bagian Title, isi dengan judul, misalnya Keterangan.
Di kotak Input message, isi dengan kalimat, misalnya Isi dengan angka 100 – 9999.
Klik OK.

Menuju situasi sadar budaya



Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel34.html pada 31 Mei 2009 : 3:17 WIB
Pakembinangun, 24 Februari 2005
Prof. Dr. H. Suminto A. Sayuti,
Dekan / Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Pendahuluan
Di antara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama di tengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita, sebagai masyarakat postkolonial.

Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya. Dalam sejumlah tulisannya, Umar Kayam telah berkali-kali mengingatkan hal itu.
Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau membuktikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Kini, kita pun masih berada dalam proses tegursapa dengan "yang lain" itu, terutama dengan budaya Barat, yang dalam kenyataannya telah terlebih dahulu mendunia. Akulturasi ini telah seiring dengan upaya-upaya "pembangunan "di segala bidang.


Pembangunan sebagai Proses
Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat, tidak dapat dipungkiri telah membawa kita pada kemajuan iptek, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian (kecil) dari keseluruhan kehidupan bangsa kita, telah pula menciptakan jarak yang lebar antara si kaya dan si miskin, antara kecanggihan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, penyimakan yang cermat dan saksama terhadap masalah-masalah budaya yang muncul mengiringinya merupakan suatu hal yang sama sekali tak boleh diabaikan.

Dalam hubungan itu, salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) akan menemukan relevansinya: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.

Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.

Sadar Budaya
Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberikan ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat di dalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia

Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai budaya yang manakah yang perlu menjadi perhatian utama dalam upaya menuju situasi sadar budaya itu. Dalam konteks kependidikan, nilai-nilai tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan.

Dalarn kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan. Pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang makin mengglobal. Untuk itu, diharapkan akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, transnasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream) kehidupan di dunia ini. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana.

Kedua, adanya pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaannya, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.

Sebagai bangsa yang bhineka, kita memiliki dua macam sistem budaya yang sama-sama harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistern budaya nasional Indonesia dan sistern budaya etnik lokal. Sistern budaya nasional adalah sesuatu yang relatif baru dan sedang berada dalam proses pembentukannya (Sedyawati, 1993/1994). Sistern ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang mana pun. Nilai-nilai budaya yang terbentuk dalam sistem budaya nasional itu bersifat menyongsong masa depan, misalnya kepercayaan religius kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bukan kepada yang selain itu; pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah; penghargaan yang tinggi atas kreativitas dan inovasi, efisiensi tindakan dan waktu; penghargaan terhadap sesama atas dasar prestasinya lebih daripada atas dasar kedudukannya; penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan rakyat; serta toleransi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.

Nilai-nilai tersebut menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai sistern budaya etnik lokal. Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pernbentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Hal tersebut akan menjadi lebih jelas tatkala kita menyadari bahwa budaya posf-kolonial, seperti kita arungi dalam waktu yang cukup lama sebagai bangsa terjajah di masa lalu, pada dasarnya merupakan persilangan dialektik antara ontologi/epestirnologi yang "lain" dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen, yang digali dari sumur-sumurkearifan lokal pula.

Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhimya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara. Jadi, ujung akhir situasi sadar budaya yang ingin dicapai bukanlah situasi, seperti kata Fromm (1966), necrophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang bendawi/wujudiah yang tidak berjiwa kehidupan, melainkan situasi biophily, yakni perasaan cinta kepada segala sesuatu yang maknawiah yang berjiwa kehidupan.

Dengan demikian, pendidikan sebagai proses menuju hai itu dapat berfungsi sebagai subversive-force, yang mengubah dan memperbaharui keadaan, sekaligus menyadarkan dan membebaskan manusia.

Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya seperti digambarkan di atas, keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi disinherited-masses, yakni manusia yang terasing dari realitas dirinya yang "menjadi ada" dalam pengertian "menjadi seperti (orang lain) dan bukannya dirinya sendiri" dapat dihindari. Jadi, muatan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi atau penjinakan sosial budaya.

Budaya barat yang sudah maju secara ekonomis dan teknologis secara tak terhindarkan telah melanda kita dengan begitu kuat sehingga kita merasa kehilangan (sebagian) identitas tradisional bangsa. Munculnya keinginan untuk membangun kembali identitas bangsa, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya "lain". Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi itu merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat.

Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan, sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya "yang lain". Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pernbentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada, seperti sudah disinggung di atas, munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif, dan kreatif.

Membangun Kebudayaan Bangsa
Kebutuhan untuk membangun kebudayaan bangsa, bagi kita, sesungguhnya dimulai semenjak kita berhasil mendirikan satu negara-bangsa. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.

Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokalnya sebagai sumber inspirasi kreatif, bagi daerah yang bersangkutan akan mendorong rasa kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Karya-karya seni budaya, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana keindonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan

Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, situasi sadar budaya dapat ditumbuhkan. Dengan cara demikian pula, kesadaran masyarakat terhadap sejarah pembentukan bangsa dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah masa kini dan disini,juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal pun dapat dijadikan semacam simpai perekat dan pemersatu antar generasi.

Penutup
Akhirnya, jika nilai-nilai budaya tersebut berhasil ditanamkan lewat pendidikan yang berfungsi mencerdaskan bangsa, akan dihasilkan pula manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia: manusia yang sadar budaya. Artinya, memiliki nilai-nilai budaya nasional yang transetnik dan bersifat menyongsong masa depan, serta mampu pula menghayati kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jatidiri yang kuat, kita tidak akan jatuh dalam posisi epigonis bangsa lain atau terhindar dari posisi yang subordinatif. Paling tidak, demikian itu yang menjadi idealisasinya. Dengan cara demikian, semoga saja, kebudayaan benar-benar memberikan dan menjadi roh "pembangunan" yang sedang kita "rencanakan kembali" untuk dilaksanakan menuju masyarakat Indonesia Baru. Dari Yogyakarta kita bisa memulainya secara lebih baik dan arif.

Pendidikan Yang Holistik

PC Siswantoko
Peserta Program Pascasarjana Academia Alfonsiana,
Pontificia Universita Lateranense, Roma
Selasa, 23 Mei 2006
Diunduh dari : http://www.semipalar.net/artikel/artikel33.html pada 31 Mei 2009 : 3 : 25 WIB
sumber : www.gatago.com

Standar ujian nasional sedang menjadi topik diskusi hangat antara pemerintah dan DPR. Bahkan Komisi X DPR mendesak pemerintah merevisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pertentangan antarpasal yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan nasional serta adanya kesenjangan mutu pendidikan antardaerah adalah dua alasan mendasar di
balik desakan revisi itu (Kompas Online, 11/5/2006). Perdebatan itu menambah panjang deret ketidakstabilan sistem pendidikan nasional.

Paradigma pendidikan
Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pihak yang paling tahu tentang mutu dan kemampuan anak didik adalah pendidik. Dengan demikian, tugas dan hak pendidiklah untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk kelulusan mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih ada jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan antarprovinsi dan pulau.

Penetapan batas minimal kelulusan 4,5 memberi gambaran, pemerintah memandang proses pendidikan hanya sebagai transfer ilmu pengetahuan yang bisa mudah diukur dengan angka. Penetapan itu mereduksi makna pendidikan sebagai sebuah proses pematangan pribadi mencakup pengembangan, kognisi, afeksi, mental, dan kepribadian.

John Dewey dalam buku Education and Democracy (1916) telah mendengungkan konsep pendidikan integral berdasarkan pada kemampuan, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik. Pendidikan yang berbasis realitas dan pengalaman anak didik sebenarnya bentuk perlawanan dan kritik pada pola-pola pendidikan tradisional yang hanya memindahkan ilmu pengetahuan masa lampau kepada tiap generasi baru.

Pendidikan tidak dimaksud sekadar mencetak orang yang pandai menghafal dan berhitung, tetapi melahirkan orang-orang berpribadi matang. Pendidikan tidak hanya tempat mengasah ketajaman otak, tetapi tempat menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna menggapai masa depan dan hidup bermasyarakat. Bangsa Indonesia amat membutuhkan sistem pendidikan seperti itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa
ini.

Maka, kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar nasional, hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras, tidak akan memberi dampak positif berkelanjutan bagi kematangan dan kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu tidak representatif sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini.
Sementara revisi pasal-pasal PP No 19/2005, sebagaimana didesakkan DPR, tidak akan berarti bila tidak ada pembaruan dan rekonstruksi terhadap paradigma pendidikan.

Tugas pemerintah
Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik.

Pertama, pemerataan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan. Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah.
Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan masih amat parsial.

Kedua, perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini amat memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi, baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti menghargai orang lain, menghormati perbedaan, kedisiplinan, serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai- nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat. Membangun budaya membaca di masyarakat bisa dijadikan titik berangkat untuk membangun budaya belajar ini.

Berkembang tidaknya sistem pendidikan bangsa, tidak terletak pada standar ujian nasional diberlakukan atau jadi tidaknya PP No 19/2005 direvisi, tetapi pada lahir tidaknya sistem pendidikan baru yang mengembangkan nilai- nilai hakiki kemanusiaan. Selama proses pendidikan tetap bermodel pengajaran, transfer ilmu, dunia pendidikan hanya melahirkan orang-orang pintar tetapi belum tentu benar, ahli tetapi belum tentu rendah hati, cerdas tetapi belum tentu bijaksana.

kegiatan pembelajaran dan pemilihan media pembelajaran

Prinsip-prinsip kegiatan belajar-mengajar
Panduan prinsip-prinsip pembelajaran efektif
Pembelajaran efektif berkaitan langsung dengan keberhasilan pencapaian pengalaman belajar
Pembelajaran efektif menguatkan praktek dalam tindakan
Pembelajaran efektif mengintegrasikan komponen-komponen kurikulum inti
Pembelajaran efektif bersifat dinamis dan dapat membangkitkan kegairahan
Pembelajaran efektif merupakan perpaduan antara seni dan ilmu tentang pengajaran
Pembelajaran efektif membutuhkan pemahaman komprehensif tentang siklus pembelajaran
Pembelajaran efektif dapat menemukan ekspresi terbaiknya ketika guru berkolaborasi untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan menemukan bentuk praktek mengajar yang profesional
GURU, PESERTA DIDIK, DAN PEMBELAJARAN
Peran Guru :
  • memperhatikan dan bersikap positif;
  • mempersiapkan baik isi materi pelajaran maupun praktek pembelajarannya;
  • memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswanya;
  • memiliki sensitivitas dan sadar akan adanya hubungan antara guru, siswa, serta tugas masing-masing;
  • konsisten dan memberikan umpan balik positif kepada siswa.
Peran Siswa :
  • tertarik pada topik yang sedang dibahas;
  • dapat melihat relevansi topik yang sedang dibahas;
  • merasa aman dalam lingkungan sekolah;
  • terlibat dalam pengambilan keputusan belajarnya;
  • memiliki motivasi;
  • melihat hubungan antara pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan pengalaman belajar yang akan dicapai.
Tugas pembelajaran :
  • spesifik dan dapat dikelola dengan baik
  • kemampuan yang dapat dicapai dan menarik bagi siswa
  • secara aktif melibatkan siswa
  • bersifat menantang dan relevan bagi kebutuhan siswa
Variabel-variabel dalam memilih bentuk pembelajaran
Sejumlah variabel sebaiknya dijadikan pertimbangan ketika guru menyeleksi model pembelajaran, strategi, dan metode-metode yang akan digunakan. Variabel-variabel tersebut di antaranya :
  • hasil dan pengalaman belajar siswa yang diinginkan;
  • urutan pembelajaran (sequence) yang selaras : deduktif atau induktif;
  • tingkat pilihan dan tanggung jawab siswa (degree);
  • pola interaksi yang memungkinkan;
  • keterbatasan praktek pembelajaran yang ada.
KERANGKA KERJA PENGAJARAN
Kerangka Kerja Pengajaran
Model-model Pembelajaran
  1. Model menggambarkan tingkat terluas dari praktek pendidikan dan berisikan orientasi filosofi pembelajaran.
  2. Model digunakan untuk menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran, metode, keterampilan, dan aktivitas siswa untuk memberikan tekanan pada salah satu bagian pembelajaran (topik konten).
  3. Joyce dan Weil (1986) mengidentifikasi empat model yakni (a) model proses informasi, (b) model personal, (c) model interaksi sosial, dan (d) model behavior.
Strategi Pembelajaran
  1. Dalam setiap model terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan.
  2. Menurut arti secara leksikal, strategi adalah rencana atau kebijakan yang
  3. dirancang untuk mencapai suatu tujuan.
  4. Dengan demikian strategi mengacu kepada pendekatan yang dapat dipakai oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran.
  5. Strategi dikelompokkan menjadi strategi langsung (direct), strategi tidak langsung (indirect), strategi interaktif (interactive), strategi melalui pengalaman (experiential), dan strategi mandiri (independent).
Metode-metode Pembelajaran
  1. Metode digunakan oleh guru untuk mengkreasi lingkungan belajar dan menkhususkan aktivitas di mana guru dan siswa terlibat selama proses pembelajaran berlangsung.
  2. Biasanya metode digunakan melalui salah satu strategi, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan beberapa metode berada dalam strategi yang bervariasi, artinya penetapan metode dapat divariasikan melalui strategi yang berbeda tergantung pada tujuan yang akan dicapai dan konten proses yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran.
Keterampilan-keterampilan pembelajaran
  1. Keterampilan merupakan perilaku pembelajaran yang sangat spesifik.
  2. Di dalamnya terdapat teknik-teknik pembelajaran seperti teknik bertanya, diskusi, pembelajaran langsung, teknik menjelaskan dan mendemonstrasikan.
  3. Dalam keterampilan-keterampilan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan perencanaan yang dikembangkan guru, struktur dan fokus pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran.
STRATEGI PENGAJARAN
STRATEGI PENGAJARAN
1.Strategi Pembelajaran Langsung (direct instruction)
  • Strategi pembelajaran langsung merupakan strategi yang kadar berpusat pada gurunya paling tinggi, dan paling sering digunakan. Pada strategi ini termasuk di dalamnya metode-metode ceramah, pertanyaan didaktik, pengajaran eksplisit, praktek dan latihan, serta demonstrasi.
  • Strategi pembelajaran langsung efektif digunakan untuk memperluas informasi atau mengembangkan keterampilan langkah demi langkah
2.Strategi Pembelajaran Tidak Langsung (indirect instruction)
  • Pembelajaran tidak langsung memperlihatkan bentuk keterlibatan tinggi siswa dalam melakukan observasi, penyelidikan, penggambaran inferensi berdasarkan data, atau pembentukan hipotesis.
  • Dalam pembelajaran tidak langsung, peran guru beralih dari penceramah menjadi fasilitator, pendukung, dan sumber personal (resource person).
    Guru merancang lingkungan belajar, memberikan kesempatan siswa untuk terlibat, dan jika memungkinkan memberikan umpan balik kepada siswa ketika mereka melakukan inkuiri.
  • Strategi pembelajaran tidak langsung mensyaratkan digunakannya bahan-bahan cetak, non-cetak, dan sumber-sumber manusia.
3.Strategi Pembelajaran Interaktif (interactive instruction)
  • Strategi pembelajaran interaktif merujuk kepada bentuk diskusi dan saling berbagi di antara peserta didik.
  • Seaman dan Fellenz (1989) mengemukakan bahwa diskusi dan saling berbagi akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan reaksi terhadap gagasan, pengalaman, pandangan, dan pengetahuan guru atau kelompok, serta mencoba mencari alternatif dalam berpikir.
  • Strategi pembelajaran interaktif dikembangkan dalam rentang pengelompokkan dan metode-metode interaktif.
  • Di dalamnya terdapat bentuk-bentuk diskusi kelas, diskusi kelompok kecil atau pengerjaan tugas berkelompok, dan kerjasama siswa secara berpasangan.
4.Strategi Belajar Melalui Pengalaman (experiential learning)
  • Strategi belajar melalui pengalaman menggunakan bentuk sekuens induktif, berpusat pada siswa, dan berorientasi pada aktivitas.
  • Penekanan dalam strategi belajar melalui pengalaman adalah pada proses belajar, dan bukan hasil belajar.
  • Guru dapat menggunakan strategi ini baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Sebagai contoh, di dalam kelas dapat digunakan metode simulasi, sedangkan di luar kelas dapat dikembangkan metode observasi untuk memperoleh gambaran pendapat umum.
5.Strategi Belajar Mandiri (independent study)
  • Strategi belajar mandiri merujuk kepada penggunaan metode-metode pembelajaran yang tujuannya adalah mempercepat pengembangan inisiatif individu siswa, percaya diri, dan perbaikan diri. Fokus strategi belajar mandiri ini adalah merencanakan belajar mandiri siswa di bawah bimbingan atau supervisi guru.
  • Belajar mandiri menuntut siswa untuk bertanggungjawab dalam merencanakan dan menentukan kecepatan belajarnya.
METODE PENGAJARAN
METODE PENGAJARAN
PENGEMBANGAN MEDIA
PENGERTIAN MEDIA
AECT : media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi
Gagne : media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar
Briggs : media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar
NEA : media adalah bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya
MEDIA adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar mengajar terjadi
KEGUNAAN MEDIA
  • Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis
  • Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera
  • Mengatasi sikap pasif siswa menjadi lebih bergairah
  • Mengkondisikan munculnya persamaan persepsi dan pengalaman
PEMILIHAN MEDIA
CIRI UTAMA MEDIA YAKNI SUARA, VISUAL, GERAK
KLASIFIKASI MEDIA
Audio visual gerak / diam
Visual gerak / diam
Audio Cetak
PERTIMBANGAN PEMILIHAN MEDIA
  • Tujuan yang ingin dicapai
  • Karakteristik siswa/sasaran
  • Jenis rangsangan belajar yang diinginkan (audio, visual, gerak)
  • Keadaan lingkungan setempat
  • Luasnya jangkauan yang ingin dilayani
Sumber : Internet dan kumpulan artikel
Dikirim oleh : wijianta, wijianta@gmail.com